RSS

Sore di Kota Bambu


Nina sedang menatap buku catatan kecilnya, isinya mengenai barang-barang yang laku dari pagi hingga sore ini. Nina, gadis berusia 23 tahun Lulusan salah satu perguruan tinggi di kota, memilih mengembangkan karier sebagai pedagang kelontongan dengan membuka sebuah toko kecil yang juga berfungsi sebagai rumahnya.

Toko kecil sekaligus tempat tinggalnya itu berukuran empat kali tujuh meter, karena dia hanya tinggal sendiri ditempat itu maka cukuplah untuk ukuran segitu. Tokonya sendiri berukuran dua meter kali empat meter sementara sisanya digunakan sebagai ruang pribadinya dan gudang.

Nina bukannya yatim piatu, orang tua nina pun tinggal dikota yang sama dengan dirinya, mereka juga termasuk keluarga yang cukup mampu, hanya saja nina merasa sudah saatnya dia mandiri. Nina ingin seperti papanya yang sudah bekerja keras dari mudanya, nina pun ingin demikian. Nina memilih tinggal di kota bambu, bukan kota yang sebenarnya, itu hanya sebutan dari pengembang perumahan yang terletak dipinggiran kota ini untuk menyebut perumahan mereka yang terbaru. Walaupun baru, perumahan ini memiliki banyak peminat karena bangunan yang ditawarkan merupakan bangunan yang dibangun untuk warga dari kelas menengah hingga rumah sederhana untuk mereka yang memiliki penghasilan minim.

Walaupun dibangun untuk mereka yang berasal dari golongan menengah kebawah bukan berarti ini perumahan ini tidak memiliki cita rasa lho. Demi sebuah persaingan perumahan ini dibangun dengan tanpa pagar dan ramah lingkungan, karena kontur tanahnya yang sedikit berbukit maka keindahannya semakin bertambah, apalagi ditambah dengan dibangunnya sebuah danau kecil (atau mungkin kita bisa menyebutnya kolam he he he .....) sebagai pusat dari perumahan ini. Inspirasi ini sepertinya ingin meniru Kota Karlsruhe di Jerman yang berbentuk kipas. Selain danau, penghijauan pun dilakukan dengan terus menambah tanaman terutama pohon-pohon baru disekitar kawasan yang berbukit.

Nina melihat ini sebagai peluang ketika pertama kali melihat master plan perumahan ini. Kebetulan teman nina adalah salah seorang konsultan untuk proyek pembangunan kawasan perumahan ini. Nina langsung memesan rumah yang berhadapan langsung dengan kolam eh danau buatan tersebut, nina sudah membayangkan pasti memiliki pemandangan yang indah kearah Danau tersebut. Harganya memang sedikit mahal tapi tak apalah karena tujuannya juga untuk membuka bisnis, yah itu tadi bisnis toko kelontong he he he (sebenarnyam itu gak matching amat sama jurusannya waktu kuliah, jurusan teknik sipil hi hi hi.... ).

Dan dimulailah perencanaan itu, suatu sore saat papa dan mama nina sedang duduk-duduk santai diteras rumah mereka, nina mulai merayu mengajukan proposalnya, "Pa, tadi nina baru saja pulang dari kantor teman nina, dia seorang konsultan dan mereka akan meluncurkan paket perumahan yang unik...", "Lokasinya dimana?" tanya papa nina. "itu dibukit akasia, disana sedang dilakukan reboisasi biar lahannya hijau kembali....", "oh begitu, memangnya kenapa ?", tanya papa nina lagi, "Aku tertarik untuk ambil tempat disana biar bisa toko kelontongan he he he ..... " nina cengengesan. Alis papa terangkat mendengar penjelasan nina, kuliah capek-capek di teknik, jatuhnya di toko kelontong. Untunglah label sebagai anak kesayangan papa membuat papa nina meluluskan permintaan anak sulungnya itu, mama nina pun mendukung.

Alhamdulillah setelah mengumpulkan uang hasil dari menjual semua peralatan yang dipakai selama kuliah (jual barang bekas maksudnya he he he ) dan suntikan dana dari papa nina (nah ini yang sebenarnya berperan besar untuk membeli rumah tersebut ), akhirnya tercapai juga impian nina untuk memiliki tempat tinggal sendiri.

To be continued ......

Falling in the deep


Kesedihan, keputusasaan menyelimuti diriku, berjalan menyusuri lorong kadang terang kadang gelap. Saat terang aku mampu melihat sejenak apa yang terjadi, saat gelap menerpa, aku merasa jatuh kedalam lubang yang tidak memiliki dasar.

Apakah kekerasan hatiku yang menjerumuskanku kedalam masalah yang tiada henti ? Aku bergumul dengan diriku sendiri, berontak terhadap setiap keputusan yang aku rasa tak pantas untukku. Aku terus berontak menyalahkan mereka yang ingin mengambil keuntungan dariku. Aku merasa sebagai orang yang baik akupun berhak mendapat apa yang baik.

Aku sedih ketika semua keputusan ada ditangan mereka, mereka memanfaatkanku untuk kepentingan mereka dengan berkata bahwa semuanya akan kembali kepadaku, akan jadi kebanggaanku. Tidak ada kebanggaan yang kurasakan, hanya beban semata demi mencapai penilaian duniawi.

Aku sudah  merasa lelah dengan semua ini, aku ingin melepaskan beban tersebut dan mulai berjalan dan mendaki gunungku sendiri, mengarungi lautanku sendiri, bukan mendaki gunung untuk kejayaan orang lain yang semata-mata hanya untuk menunjukkan kemampuan bahwa masih dianggap dari kalangan yang berharta. Aku lelah.

To be continued ....
Copyright 2009 Write my own story. All rights reserved.
Bread Machine Reviews | watch free movies online by Blogger Templates